Senin, 25 Mei 2009

Kolam: Buku Puisi Sapardi Djoko Damono


Judul Buku: Kolam
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Editum
Cetakan: I, 2009
Tebal: 120 hlm

Buku ini dibedah pekan lalu (18/5) di Salihara bersama Hasan Aspahani (penyair) dan Muhammad Al Fayyadl. Buku dengan sampul hitam putih bergambar lukisan karya Jeihan ini memuat 51 puisi terbaru Sapardi Djoko Damono (selanjutnya aku sebut Sapardi saja). Kelima puluh satu sajak tersebut dibagi menjadi 3 bagian (kata Reda Gaudiamo pada kesempatan bertemu di sebuah acara sastra, Sapardi sangat suka angka 3).

Tahun ini, tepatnya 20 Maret silam, penyair idolaku ini genap berusia 69 tahun (eh, 69 bukan angka genap, ya?). Sebuah angka yang tidak muda lagi tentu. Namun, pada usia senjanya itu, Sapardi masih terus menyajak, membuktikan kecintaan dan kesetiaannya kepada seni yang bernama puisi.

Kalau kita cermati sejak buku perdananya, DukaMu Abadi (1969 – wow, aku masih orok!) hingga yang hadir terakhir ini, Kolam (2009 – berjarak tepat 40 tahun!), kita bisa lihat ada sesuatu yang mengabadi di dalamnya: kesetiaan Sapardi menggunakan benda-benda alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya. Dalam rentang 40 tahun itu, kita akan selalu bertemu dengan kabut, bunga, embun, matahari, bulan , bintang, langit, rumput, pohon, ilalang, awan, ranting, sungai, laut, hujan……

Ketika hal tersebut disinggung oleh Zen Hae (penyair) pada malam diskusi di Salihara itu, Sapardi menanggapinya dengan berujar, “Yang terpenting adalah bukan apa yang diucapkan, tetapi bagaimana mengucapkannya (puisi). Bagi saya, sudah tidak ada lagi yang baru di dunia ini. Tema dalam puisi itu kan hanya merupakan pengulangan-pengulangan.”

Terlepas apakah Anda setuju atau tidak pada jawaban Sapardi, untukku puisi-puisi bapak ini tetaplah menjadi sesuatu yang memukau. Ia tidak ingin bercanggih-canggih dengan serba-kebaruan. Ia memilih menjadi seorang penjaga “taman” yang setia, sebab “taman” itu adalah temuannya. Miliknya. Seperti halnya celana bagi Joko Pinurbo. Kurang lebih seperti itulah pendapat Hasan Aspahani yang dengan ikhlas kusepakati. Bagiku, dalam kesetiaannya itu, puisi-puisi Sapardi menjadi klasik dan akan senantiasa lestari.

Ada yang menarik, khususnya buatku, pada acara diskusi yang lalu. Sebelum acara resmi dimulai, aku sempat bertukar kata dengan Hasan Aspahani. Tak jauh-jauh topiknya, masih di sekitar pinggir-pinggir Kolam.

Hasan bertanya padaku, “Gimana, Ndah? Sudah khatam Kolam-nya? Apa favoritmu?”

“Pohon Belimbing,” sahutku. Itu merupakan sajak nomor urut 2 di buku ini.

Belum sempat kami membincangnya lebih jauh, Guntur Romli yang malam itu bertindak selaku pembawa acara, telah naik mimbar dan memanggil Hasan untuk segera menempati kursi di muka. Acara akan segera dibuka dengan pembacaan satu puisi oleh Sapardi. Anda tahu, puisi apa yang dipilih beliau? “Pohon Belimbing”. Ah..aku jadi merasa Sapardi khusus membacakannya buatku J

Inilah “Pohon Belimbing” itu:

Pohon Belimbing

Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.
Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?
Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
tua juga akhirnya?


Entah. Barangkali aku pun tak paham sepenuhnya maksud puisi ini. Namun, ada yang terasa indah saat aku membacanya. Juga membersit sebuah perasaan cinta yang tulus, yang telah teruji melewati waktu nan panjang. Tetapi tentu saja, Anda boleh mempunyai tafsir yang berbeda terhadapnya. Tak berlaku tafsir tunggal dalam fiksi, terlebih puisi. Memangnya Pancasila? :D

Sebetulnya masih ada satu puisi lagi yang bakal menjadi calon kuat menggantikan “Aku Ingin” sebagai sajak wajib Valentine’s Day versi aku. Wajib di sini artinya, setiap Hari Cinta Kasih itu tiba, aku selalu mengirimkan untaian sajak tersebut kepada beberapa orang (cowok dong) yang “istimewa”. Agaknya, Februari tahun depan, “Aku Ingin” akan kutukar dengan sebuah puisi yang mirip: “Seperti Kabut”. Tidak percaya bahwa mereka mirip satu sama lain? Nih, aku kasih lihat, ya:

Seperti Kabut

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti.

Bagaimana? Mirip sekali, kan? Spiritnya terutama: cinta.

Jadi, bagi Anda para penggemar Sapardi sepertiku atau penyuka sajak-sajak cinta yang manis romantis, Kolam perlu dimiliki sebagai koleksi karya seorang “dewa”. Puisi-puisinya bukan jenis yang berat, yang membikin kening berlipat empat. Lagian, tak perlu betul untuk benar-benar memahaminya kok. Seperti aku, nikmati saja.***

Minggu, 10 Mei 2009

Pada Sebuah Kapal


Judul buku: Pada Sebuah Kapal
Penulis: NH Dini
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Kesembilan, 2004
Tebal: 351 hlm

Nama
NH Dini sudah kudengar sejak aku di SMP lewat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika harus menyebut salah satu karya terbaiknya dari sekian banyak buku yang ditulisnya, Pada Sebuah Kapal adalah jawabannya. Novel panjang yang konon memakan waktu 10 tahun dalam proses penerbitannya ini, bisa jadi merupakan otobiografi penulisnya. Banyak terdapat kesamaan, baik kisah maupun karakter, antara tokoh Sri dalam buku ini dengan NH Dini yang juga bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin.

Novel ini terbit pertama kali pada 1973 di bawah penerbit PT Dian Pustaka Jaya. NH Dini mengetik naskahnya hanya dalam waktu satu bulan pada tahun 1963. Waktu itu ia telah menikah dengan seorang diplomat Prancis, Yves Coffin. Dalam buku ini, tokoh utamanya, Sri juga menikah dengan seorang diplomat Prancis, Charles Vincent. Sri, sebagaimana Dini, adalah seorang penari dan penyiar radio.

Namun, terlepas dari apakah benar novel ini terkait erat dengan sejarah hidup penulisnya atau hanya fiksi semata, yang jelas Dini telah menuliskannya dengan baik. Alur konvensional yang nyaris menjadi cirinya, tergarap dengan rapi lewat penuturan orang pertama. Melalui teknik ini, Dini lebih leluasa mengeksplorasi perasaan tokoh utamanya serta menggambarkan secara terperinci situasi dan peristiwa yang dialami sang tokoh.

Cinta menjadi tema pokok novel ini. Tepatnya, perjalanan cinta seorang wanita Jawa bernama Sri yang cukup berliku-liku. Lika-likunya inilah yang menarik, sebab di dalamnya terkandung unsur-unsur budaya, feminisme, dan pandangan-pandangan Dini terhadap keduanya. Melalui Sri yang lembut sekaligus pemberontak, Dini menggugat ihwal peran istri dan perempuan pada saat itu. Ia juga telah dengan jujur dan berani mengungkapkan fakta tentang seks sebelum menikah, perselingkuhan, dan perceraian dari perspektif perempuan. Sri yang dididik orang tuanya selaku perempuan Jawa yang harus serbahalus dalam berkata dan bersikap, ternyata memiliki pandangan sendiri dalam urusan cinta. Baginya, hubungan seks antara dua orang yang saling mencintai boleh-boleh saja dilakukan, walaupun pasangan tersebut bukan suami istri. Maka, Sri pun berselingkuh, atas nama cinta. Singkatnya, Sri adalah seorang wanita yang tahu apa yang dia inginkan.

Selain itu, Dini juga tidak canggung menampilkan adegan-adegan seks dalam karyanya ini. Ya, lagi pula mengapa harus sungkan jika itu memang terjadi secara natural–mengalir–dan bukan sekadar tempelan yang dipaksakan hadir. Bagian tersebut merupakan sesuatu yang menyatu dengan ceritanya. Dan Dini berhasil menghadirkannya dengan luwes tanpa terkesan vulgar. Tampaknya ia hendak menyampaikan, bahwa perempuan juga berhak menikmati seks yang indah dan menyenangkan (bersama lelaki yang dicintainya).

Menariknya lagi, Pada Sebuah Kapal ini dikisahkan dalam dua bagian. Pertama, dituturkan oleh Sri dari sudut pandang perempuan, dan bagian kedua ditulis dari perspektif Michel, kekasih gelap Sri.

Di usia senjanya, NH Dini masih setia menulis sembari sesekali melukis. Ia adalah contoh sebuah kesetiaan dan kecintaan terhadap profesi. Tak lekang digerus waktu. Ia adalah sang legenda.***

Senin, 23 Maret 2009

Breakfast at Tiffany's


Judul buku: Breakfast at Tiffany’s
Penulis: Truman Capote
Penerjemah: Berliani m. Nugrahani
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2009
Tebal: 163 hlm

Biasanya, “peraturan”-ku adalah: baca bukunya dulu baru kemudian menonton filmnya, karena jika sebaliknya, maka imajinasiku jadi terbatas. Aku akan terkungkung oleh ingatan kepada filmnya selama membaca bukunya. Dan itu sebuah situasi yang sangat tidak nikmat dalam membaca buku.

Namun, sayangnya aku tidak selalu bisa mematuhi peraturanku sendiri itu. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya misalnya lantaran buku terjemahannya terbit lama setelah filmnya dibuat. Ya, sebenarnya itu karena aku yang malas baca buku versi Inggrisnya. Habis mahal dan belum tentu ada di Indonesia (Alasan saja, padahal sebab utamanya adalah kemampuan bahasa Inggrisku yang minus :D)

Maka, ketika suatu hari aku memperoleh kesempatan nonton film Breakfast at Tiffany’s yang legendaris itu, tak kusia-siakan, walaupun aku belum membaca novelnya. Novel Truman Capote yang terbit pertama kali pada 1958 ini, edisi bahasa Indonesianya baru terbit awal 2009. Filmnya dibuat tahun 1961 dengan bintang utamanya si jelita Audrey Hepburn. Malalui film ini, Audrey Hepburn telah sukses menjadi salah satu ikon Hollywood. Ia akan selalu dikenang lewat perannya sebagai Holly Golightly ini. Beruntunglah ia, sebab awalnya Capote ingin lakon tersebut dimainkan oleh Marilyn Monroe.

Maka, karena aku telah melanggar peraturan, terjadilah hal yang telah kusebutkan di atas. Imajinasiku terpenjara oleh filmnya. Sepanjang membaca bukunya, mau tak mau aku membayangkan sosok Holly Golightly seperti Audrey Hepburn itu. Celakanya lagi, cerita di buku tidak sama dengan yang di film. Banyak banget bedanya. Dan apa boleh buat, aku harus mengatakan, aku lebih bisa menikmati filmnya.

Plot di film lebih disederhanakan. Karakter-karakternya juga tidak serumit dan sebanyak di buku. Pendek kata, banyak terjadi penyimpangan di filmnya yang konon telah membuat Capote kecewa berat.

Lalu, mana yang lebih bagus? Hmm…dua-duanya bagus. Namun, karena keduanya merupakan media yang berbeda, tentu saja masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Pada novel, peluang untuk menyajikan detail lebih terbuka. Juga kesempatan untuk menggali karakter tokoh-tokohnya lebih memungkinkan. Sementara film memiliki kelebihan untuk bisa menghadirkan cerita dan tokoh-tokohnya menjadi hidup dalam gambar yang bergerak. Apalagi jika ditingkahi oleh ilustrasi musik dan efek visual yang bagus, maka akan terjadi apa yang disebut: menghidupkan buku.Bukan mustahil akan lebih keren dari bukunya. Contohnya, The Lord of the Rings (Peter Jackson).

Karakter utama kisah ini adalah Holly Golightly. Seorang wanita muda yang memiliki masa lalu suram di sebuah desa kecil di Texas. Suatu hari ia kabur dari rumahnya dan bertualang sebagai wanita penghibur di New York. Bermodalkan parasnya nan rupawan, dengan mudah Holly memperoleh uang untuk mengongkosi gaya hidupnya sebagai wanita kelas atas. Kecantikannya memungkinkan ia segera diterima oleh kalangan atas New York. Ia mengencani banyak pria dari berbagai kalangan. Mulai dari selebriti Hollywood, pengusaha, hingga politisi. Konon, Holly merupakan karakter fiktif favorit penulisnya. Bisa dimengerti, sebab kekuatan buku ini memang ada pada pengkarakteran Holly yang istimewa. Kompleks. Jika kita harus mengingat novel atau filmnya, maka yang pertama kita sebutkan adalah Holly Golightly.

Seting cerita adalah New York tahun 40-an, masa berkecamuknya Perang Dunia II. Kisahnya disampaikan melalui penuturan tokoh aku yang dipanggil Fred, kakak lelaki Holly (di film bernama Paul Varjak), seorang pria penulis yang jatuh cinta pada Holly. Sepertinya, novel ini merupakan gambaran masyarakat elit New York tahun 1940-an yang hidup serba-glamour, setiap malam berpesta, minum-minum, makan enak di restoran mewah, berbusana mahal dari rumah mode terkenal lengkap dengan perhiasannya. Sebuah kehidupan yang dilakoni oleh Truman Capote selaku pesohor Hollywood. Karena itulah ia mampu menggambarkannya dengan baik.

Jika aku boleh menyarankan, lebih baik baca novelnya dulu sebelum menonton filmnya.***

Rabu, 11 Maret 2009

Inkheart


Judul buku: Inkheart
Judul asli: Tintenherz
Penulis: Cornelia Funke
Penerjemah: Dinyah Latuconsina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: 536 hlm

Inkheart merupakan buku pertama dari sebuah rangkaian Trilogi Inkworld karya penulis Jerman, Cornelia Funke. Inkheart adalah buku kedua Funke yang saya baca setelah Pangeran Pencuri. Keduanya sudah difilmkan.

Berbeda dengan Pangeran Pencuri yang mengangkat cerita realis, Inkheart lebih cenderung bergenre fantasi. Persisnya, cerita yang mengawinkan dunia nyata dengan dongeng. Mungkin sudah biasa ya tema semacam ini. Sebut saja Harry Potter sebagai contoh mutakhir. Tetapi, dalam Inkheart nyaris tak ada kekuatan sihir. Kalaupun ada itu mungkin yang disebut sihir kata-kata. Mantra? O, bukan! Ini bahkan lebih dahsyat dari mantra para penyihir karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam buku ke dunia nyata.

Pembuat keajaiban itu adalah Mortimer, seorang “dokter” buku. Mo dan anaknya Meggie adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Pekerjaan Mo sebagai tukang reparasi buku–seperti memperbaiki sampul atau halaman-halaman buku yang terlepas–telah memungkinkannya bertemu dengan banyak kolektor buku. Salah satunya adalah Elinor, bibi dari istrinya yang menghilang 9 tahun lalu.

Sembilan tahun yang lalu, saat Meggie masih berumur 3 tahun, sebuah peristiwa ajaib terjadi di rumah mereka; rumah mungil dengan ratusan buku di dalamnya. Mo dikejutkan oleh kemunculan tiga sosok asing yang keluar dari dalam buku Tintenherz yang tengah dibacanya: Capricorn, Basta, dan Staubfinger serta menghilangnya Teresa, istri Mo, masuk ke dalam buku tersebut.

Sejak itu kehidupan Mo–kemudian dijuluki si Lidah Ajaib–dan Meggie tidak sama lagi. Mereka terus diburu oleh ketiga orang tersebut. Untuk menghindari mereka, Mo terpaksa harus menempuh hidup nomaden, berpindah dari satu kota ke kota lain. Hingga suatu ketika mereka tiba di rumah Elinor dan kembali mengalami petualangan yang menegangkan.

Buku ini menjadi memukau terutama lantaran tokoh-tokohnya adalah para pencinta buku yang gila-gilaan. Mo misalnya. Ia lebih rela membelanjakan uangnya untuk buku-buku ketimbang memperbaiki rumahnya yang sempit itu. Ia merawat buku-buku seperti merawat benda pusaka. Kegilaannya menurun pada Meggie, putri satu-satunya. Ke mana pun mereka pergi, benda yang tidak boleh ketinggalan adalah buku-buku.

Namun, tak ada yang melebihi kegilaan Elinor. Perempuan yang melajang itu mengabdikan seluruh hidupnya untuk buku-buku. Ia akan mengupayakan segala macam cara demi mendapatkan sebuah buku yang diinginkannya. Katanya, “Semua kolektor buku itu perampas dan pemburu”. Semua kamar di rumahnya yang besar, nyaris terisi oleh buku-buku dari segala penjuru dunia. Ia menjaga dan mencintai buku-buku itu seperti anak kandungnya sendiri. Alhasil, Elinor telah memikat hati saya dan menjadikannya tokoh favorit dalam buku ini.

Lihat saja bagaimana ia memperlakukan buku-bukunya yang sangat berharga dan ia tidak akan berpikir dua kali untuk menembakmu jika kamu berani menyentuhnya. Elinor juga rela bergelap-gelap di dalam rumahnya hanya karena lebih suka memakai uangnya untuk membeli buku ketimbang membayar tagihan listrik.

Wanita ini memang nyentrik dan tindakannya seringkali ekstrem. Namun, ia seorang yang sangat rasional dan kadang-kadang bisa arief dan bijaksana seperti saat mengucapkan, “Di tempat buku dibakar, di sana manusia pun akan segera hangus binasa.” (hlm.174)

Barangkali buat kamu yang menyukai kisah-kisah fantasi dan petualangan, bagian petualangannya itu yang paling menarik. Tetapi, buat saya, karakter-karakter para kutu buku ini jauh lebih menawan. Bukan mustahil, tokoh-tokoh rekaan ini adalah gambaran penulisnya yang juga seorang kutu buku (ia mengutip kalimat-kalimat indah dari buku-buku keren yang dibacanya di setiap bab buku ini. Saya paling suka yang ini: "Untukku, si miskin - perpustakaanku cukuplah sebagai harta" - Shakespeare, The Tempest, hlm. 282).

Sesungguhnyalah, Inkheart merupakan sebuah buku tentang buku. Tentang kecintaan terhadap buku. Tentang keajaiban kata-kata pada lembar-lembar kertas yang menghidupkan cerita dan memberi ruh, nyawa bagi tokoh-tokohnya. Rasanya Funke ingin menyampaikan pesan, bahwa cerita yang baik adalah cerita yang hidup; yang membuat pembacanya seolah-olah masuk ke dalamnya dan bertemu dengan tokoh-tokohnya. Ah, dalam hal ini, tampaknya saya harus sepakat.

Kelanjutan Inkheart adalah Inkspell dan Inkdeath. Mudah-mudahan segera terbit.***

Kamis, 05 Maret 2009

Sweetness in the Belly



Judul buku: Lily: Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Etiopia
Judul asli: Sweetness in the Belly
Penulis: Camilla Gibb
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2008
Tebal: 500 hlm
.

Nama Etiopia pernah sangat terkenal pada tahun 1980 hingga 1990-an. Hampir setiap malam, layar televisi kita menampilkan gambar-gambar mengenaskan tentang situasi di negeri tersebut yang dilanda kelaparan berkepanjangan akibat kekeringan dan juga perang saudara.

Di negeri dengan sejarah yang panjang ini pernah memerintah seorang kaisar, raja di raja, dengan kekuasaan bagaikan dewa, Haile Selassie. Ia juga sangat dipuja oleh kaum penganut ‘agama’ Rastafaria. Nama Rastafari diambil dari nama kecil Haile Selassie, Ras Tafari, sebelum menjadi penguasa Etiopia. Kaum Rastafarian inilah yang kemudian melahirkan aliran musik reggae. Pada tahun 1974, Haile Selassie digulingkan dari takhtanya, digantikan oleh sebuah pemerintahan Sosialis.

Negeri dengan populasi 40% golongan muslim ini sangat percaya pada para wali. Setiap benda dipercaya memiliki wali sendiri. Secara bergurau dikatakan, bahkan kutil pun ada walinya. Mereka juga kerap melangsungkan ritual agama yang bercampur tradisi di makam-makam para wali tersebut. Dari kenyataan ini tergambarlah sesungguhnya penduduk Ethiopia amat relijius sekaligus juga meyakini hal-hal mistis. Kalau di kita barangkali bisa disejajarkan dengan kejawen.

Melalui kaca mata seorang novelis Kanada, Camilla Gibb, yang juga adalah master antropologi sosial, novel berjudul asli Sweetness in the Belly ini memaparkan wajah Etiopia pada kurun waktu 1970 hingga 1990-an. Dengan tokoh seorang wanita muda kelahiran Inggris, Lily, Camilla telah mengawetkan sepotong catatan sejarah negeri yang pernah mengilhami penyanyi balada Iwan Fals menciptakan sebuah lagunya yang terkenal: “Ethiopia”.

Meskipun Lily adalah seorang farenji, kulit putih, ras yang sering dianggap lebih unggul dari kulit berwarna, namun Gibb tidak menampilkannya sebagai karakter yang serbapintar dan serbatahu. Gibb cukup bisa mengambil jarak dengan tokoh utamanya itu sehingga tidak terjerumus menjadikan dirinya sebagai Lily. Keterangan-keterangan ihwal kondisi alam, geografi, sosial politik, dan budaya setempat, tersampaikan melalui tokoh-tokoh lokalnya, seperti Aziz, seorang dokter muda yang bersama teman-teman mahasiswanya diam-diam melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Dalam setiap pertemuan dengan kawan-kawannya itu, Aziz mengajak Lily. Dari sinilah Lily mengeruk banyak informasi tentang negeri yang menjadi tanah air keduanya itu.

Agar cerita tak menjadi garing, tentu harus ada kisah cinta di antara para tokohnya, bukan? Maka, dibuatlah kisah asmara antara Lily dan Aziz.



Novel ini ditulis Gibb sebagai hasil studi dan penelitiannya tentang Islam di Mesir serta pengalamannya tinggal selama 1,5 tahun bersama satu keluarga muslim Etiopia di Harar sekitar tahun 1994-1995. Di negara ini, Gibb menyaksikan dengan mata kepala sendiri berbagai praktik budaya lokal yang sering membahayakan dan merugikan perempuan.

Umpamanya, upacara absuma, khitan bagi anak-anak perempuan yang kerap kali menelan korban karena dilakukan secara tradisional oleh seorang dukun. Biasanya penyebab melayangnya nyawa anak-anak itu akibat kehabisan darah. Sampai saat ini, tradisi tersebut masih terus berlangsung.

Camilla juga menemukan fakta masih banyaknya praktik poligami di kalangan kelompok muslim. Motivasi para perempuan yang bersedia dikawani lelaki beristri terutama karena faktor ekonomi selain alasan agama dan adat yang diyakininya.

Namun, ia juga tak memungkiri bahwa banyak pula hal unik dan indah yang ia temukan di tengah-tengah tanah yang kerontang itu. Misalnya saja, kebiasaan penduduk mengunyah daun qat atau acara minum buna (kopi khas Etiopia) sembari kumpul-kumpul dan bergosip.

Sweetness in the Belly – entah kenapa judul yang keren ini harus diubah menjadi judul yang panjang lebar, Lily: Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Ethiopia – akhirnya bagi saya menjadi sebuah bacaan fiksi yang cukup mencerahkan. Darinya, saya memperoleh “tenpa sengaja” sekeping pengetahuan adat, budaya, dan sejarah Etiopia. Andai harus dengan sengaja membaca buku tentang Etiopia, barangkali saya akan pikir-pikir dulu. Ya, agaknya demikianlah “keajaiban” sebuah karya fiksi.***

Selasa, 24 Februari 2009

Eendaagsche Exprestreinen



Judul buku: Eendaagsche Exprestreinen
Gambar: Bondan Winarno, Dhian Prasetya, Gede Juliantara
Teks: Yusi A.Pareanom & Risdianto
Penerbit: Banana
Tebal: 60 hlm
Cetakan: I, 2009

Entah kenapa, novel grafis atau komik lokal ini diberi judul memakai bahasa Londo (Belanda) yang artinya kereta ekspres siang. Barangkali agar lebih terasa aroma jadulnya mengingat seting cerita komik ini Batavia 1930. Atau bisa jadi juga sebagai daya tarik pemasarannya. Eendaagsche Exprestreinen tentu terdengar lebih keren ketimbang kereta ekspres siang. Sah-sah saja.

Kereta api di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Diawali di Jawa dengan pembangunan rel pertama yang membentang dari Kemijen ke Tanggung (1864) oleh perusahaan swasta NV.NISM (Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) sepanjang 26 km. Jalur ini kemudian diteruskan hingga Solo dan Yogyakarta (1870-an).

Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk membangun jalur yang lain. Melalui perusahaannya, SS, dibuatlah jalur dari arah timur (Surabaya-Pasuruan) dan lanjut ke barat sampai ke Solo. Hingga kemudian pada 1929 telah tersedia jalur langsung Batavia-Soerabaia yang dapat ditempuh dalam satu hari saja.

Selain di Jawa, pembuatan jalan sepur ini juga dilakukan di Sumatra dan Sulawesi.

Komik kereta ini merupakan komik kedua terbitan Banana dengan masih mengandalkan Bondan Winarno dan dua rekannya sebagai juru gambar serta jalinan cerita yang dipercayakan kepada Risdianto dan Yusi Pareanom.

Bicara gambar-gambar dalam komik ini, menurutku rada mirip komik Herge, Tintin. Gambar bola mata karakter-karakternya dibuat hanya berupa titik hitam saja, persis seperti komik Tintin. Demikian pula dengan pelukisan suasana, detail dan penuh warna. Menarik. Ini bisa dilihat pada gambar sampul depannya: suasana hiruk-pikuk di sebuah stasiun kereta yang didominasi oleh gambar-gambar orang dengan segala kesibukannya.

Pada latar depan, ada penjual sate dengan 4 orang pembelinya. Agak di tengah, tampak 2 orang bocah lelaki yang tengah berkejaran. Sementara itu, seorang gadis Tionghoa, tertawa gembira menyaksikan. Berikutnya, ada tukang buah, tukang cukur, dan orang-orang yang duduk sembari makan atau mengobrol. Di belakang sekali, ada lokomotif hitam antik yang sedang parkir. Sekali lagi, menarik.

Tak kalah menarik juga gambar-gambar yang tersaji di dalam halaman-halaman yang berjumlah 60 ini. Ditampilkan dalam panel-panel berukuran besar dan kecil, deretan gambar tersebut menyajikan pemandangan tempo doeloe, baik suasana maupun peristiwanya, termasuk interior gerbong kereta yang masih terbuat dari kayu.

Sayangnya, gambar-gambar keren itu tidak ditunjang cerita yang memikat. Ah, sebenarnya temanya sih bolehlah, tentang persahabatan tiga anak yang berlainan bangsa: Seta si bocah Jawa, Johan anak Belanda, serta A Xiu, gadis kecil asli Cina. Mereka bertiga bertemu di sebuah kereta api siang jurusan Batavia-Soerabaia. Bersama orang tua masing-masing, mereka menempati gerbong-gerbong kelas I.

Perjalanan Batavia-Soerabaia yang memakan waktu tempuh 9 jam menjadi arena petualangan ketiga bocah yang kemudian bersahabat itu. Dengan keberanian khas kanak-kanak, Seta, Johan, dan A Xiu berhasil meringkus komplotan pencuri yang sedang dicari-cari polisi.

Untuk pembaca dewasa, kisah di atas mungkin kurang “nendang” (meminjam istilah Yusi). Kurang nggreget. Humor-humornya garing, kurang “hidup”, dan terkesan dipaksakan kehadirannya. Lebih cocok sebagai bacaan anak-anak dan remaja. ***

Rabu, 11 Februari 2009

Cinta di Atas Perahu Cadik


Judul buku: Cinta di Atas Perahu Cadik
Penulis: Seno Gumira Ajidarma, dll.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, 2008
Tebal: 166 hlm.


Beberapa waktu lalu, seorang teman cerpenis di Bandung, curhat. Katanya dengan nada masygul, ia baru saja mendapat penolakan dari salah satu penerbit untuk naskah calon buku kumpulan cerpennya. Alasan penerbit, buku kumpulan cerpen seret pemasarannya. Kurang diminati, tidak seperti novel. Teman saya bertanya kepada saya (karena katanya saya kan senang baca fiksi), apa benar demikian? Apa benar novel lebih disukai ketimbang kumpulan cerpen?


Setelah pura-pura mikir beberapa saat, saya menjawab, bisa jadi. Sebab, kalau diingat-ingat lagi, saya juga ternyata memang lebih banyak membaca novel daripada kumcer. Nah mengapa demikian, ya? Hmm, barangkali karena cerpen itu ceritanya singkat. Lagi seru-serunya, eh..malah sudah harus berhenti. Belum lagi, emosi kita harus terpotong-potong karena jenis ceritanya yang beragam. Tetapi, sebenarnya kalau cerpennya menarik seperti "Ripin" atau "Brokeback Mountain", kayaknya sih asyik-asyik saja ya? Dan sebaliknya, biar pun itu novel, kalau buruk, ya tetap saja ngeselin membacanya.


Sebenarnya bukan cuma teman saya yang cerpenis itu saja yang kecewa. Salah seorang teman dari sebuah penerbit juga pernah berkeluh-kesah untuk kasus yang sama. Buku kumpulan cerpen yang mereka terbitkan ternyata jeblok di pasaran. Padahal ditulis oleh seorang cerpenis kelas dunia yang memenangi beberapa penghargaan internasional. Dia gemas ketika mendapati realita justru buku-buku guyonan yang malah laku keras.


Katanya dengan pedih sembari gusar, "Maunya apa sih pembaca kita ini?"


Saya akhirnya cuma bisa garuk-garuk kepala (walaupun sebenarnya nggak gatal) :D

Tetapi yang jelas, sesekali saya masih suka membaca kumcer, termasuk buku kumcer Kompas pilihan yang terbit setiap tahun. Tahun lalu terbit dengan judul Cinta di Atas Perahu Cadik, diambil dari cerpen terbaik karya Seno Gumira Ajidarma yang ditetapkan oleh dua orang juri, yakni Sapardi Djoko Damono dan Ayu Utami. Seluruhnya ada 15 cerpen.

Tetapi, bukan itu cerpen favorit saya di buku ini. Saya lebih suka “Kisah Pilot Bejo” , cerpen karya Budi Darma. Cerpen yang bertutur dengan gaya komedi ini merupakan respons penulisnya terhadap musibah raibnya pesawat penumpang Adam Air yang nyungsep di perairan Majene, bagian barat Sulawesi dua tahun lalu. Budi Darma menyampaikan kritiknya terhadap kinerja maskapai penerbangan kita dengan gaya menyindir yang pedas dan nyelekit. Misalnya saja, penyebutan nama maskapai penerbangan dalam cerpennya dengan inisial AA (Amburadul Airline, tentu menyindir Adam Air) dan SA (Sontholoyo Airlines–apakah yang dimaksud Sriwijaya Air?) serta tentang prosedur standar penerbangan yang sering diabaikan sehingga mengakibatkan kecelakaan fatal.

Cerpen favorit kedua, “Sepatu Tuhan” (Ugoran Prasad). Sejak kepincut “Ripin”, saya hampir selalu membaca cerpen-cerpen karya Ugoran Prasad. Kisahnya juga ihwal dunia riil; tentang makna persahabatan dua orang bocah lelaki yang dipertemukan kembali ketika keduanya sama-sama dewasa di sebuah kantor polisi. Yang satu sebagai letnan polisi dan satunya lagi tersangka pelaku kejahatan. Kisah sederhana dengan akhir yang saya suka: menyentuh.

Selanjutnya, ada dua cerpen yang mengangkat tema “basi” PKI : “Hari Terakhir Meilan” (Soeprijadi Tomodihardjo) dan “Candik Kala” (GM Sudarta). Sementara itu, Adek Alwi, penulis senior sejak zaman Anita Cemerlang, menulis “Lampu Ibu”, sebuah cerita pendek seorang ibu yang putranya dituduh korupsi.

Cerpen berjudul romantis, “Gerimis yang Sederhana” (Eka Kurniawan) menjadi cerpen penutup. Mengambil seting Los Angeles, Amerika Serikat, Eka ingin mengenang tragedi kerusuhan 1998, khususnya kasus pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa. Eka sukses menghindari penceritaan yang penuh dendam dan dengan cerdik ia membelokkannya menjadi sebuah kisah romantis dengan akhir yang tidak terduga.

Tunggu, masih ada satu cerpen lagi yang nyaris saya suka : “Tukang Jahit” (Agus Noor). Kenapa nyaris? Cerpen ini keren, namun karena ujung-ujungnya ternyata surealis, jadi agak mengurangi kenikmatan membaca saya yang beraliran realis.

Dan sebagai cerpen juara “Cinta di Atas Perahu Cadik”, adalah sebuah cerpen cinta (terlarang) dengan tokoh lelaki kesayangan SGA: Sukab. Mengapa cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik? Alasan dewan juri yang diwakili Ayu Utami, antara lain menyatakan, bahwa cerpen SGA ini memiliki keistimewaan karena sebagai cerpen, ia banyak kali melakukan perpindahan sudut pandang yang sesungguhnya sangat berbahaya. Tetapi pengarang berani mengambil risiko ini dan selamat.

Ayu juga mengatakan, bahwa cerpen tersebut menyajikan adegan dan dialog yang jalin-menjalin dalam simpul yang efektif dan efisien, tak ada yang sia-sia. Saya tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Ayu ini. Bagi saya, “perahu cadik” Seno ini ya “hanya”sebuah cerpen tentang cinta dan perselingkuhan.

Tapi baiklah. Sayembara telah usai dilangsungkan. Pemenangnya sudah diputuskan. Jika ada pro dan kontra, itu biasa. Kalau kau suka, bacalah. Jika tak suka, tinggalkan saja.***